KEDIRI (kabarsidoarjo.com)- Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri yang menjadi mitra strategis LDII dalam melahirkan juru dakwah, sukses menghelat tausiyah kebangsaan, Minggu (14/6/2021) kemarin.
Pada acara yang dihadiri DPW-DPD LDII seluruh Indonesia itu, hadir sebagai narasumber utama, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr KH Marsudi Syuhud, MA.
Lebih dari 5.000 peserta baik dari kalangan ulama, pengurus LDII serta perwakilan MUI Propinsi dan Kabupaten/kota turut mensukseskan acara tausiyah ini.
Termasuk pengurus DPD LDII Kabupaten Sidoarjo yang dipimpin M. Fauzan, S.Pd dan Sekretarisnya, H. Hariman Danasasmita, ST, turut hadir mengikuti tausiyah secara daring.
“Tausiyah kebangsaan ini penting dalam kondisi keumatan yang menghadapi masalah yang kompleks dan multidimensi, kami membutuhkan pencerahan,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs KH Soenarto, M.Si.
Sebagai pondok pesantren yang diamanati DPP LDII, untuk menghasilkan juru dakwah menurut KH Soenarto, posisi Pondok Pesantren Wali Barokah sangat strategis,
“Maka para juru dakwah itu, perlu dibekali ilmu agama yang kaffah, dan wawasan kebangsaan yang kuat dan mantap,” ujarnya.
Sementara itu dalam sambutannya, Ketua Umum DPP LDII Ir KH Chriswanto Santoso, M.Si mengemukakan pentingnya menjalin silaturahim.
Dengan silaturahim itu, para tokoh agama bisa turut memikirkan bangsa dan negara sebagai kontribusi untuk menjadikan Indonesia negeri yang makmur penug rahmat dari Allah.
“Tausiyah ini jadi penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, agar ukhuwah wathoniyah juga kuat, dan ketiga ukhuwah basariyah terjaga. Para pendiri bangsa mendirikan negeri ini atas perbedaan yang tak bisa dihindari, dan para ulama menjadi motor penggerak perjuangan. Dari perbedaan itu, justru kita menyatu,” pungkas KH Chriswanto Santoso.
Menurut Chrsiwanto Santoso, di tengah era digital ini, internet mempermudah lalu-lalang informasi.
Namun teknologi itu, juga mempermudah fitnah menyebar.
“Digitalisasi memungkinkan menulis atau mengubah suara menjadi saya, padahal pesan-pesannya bukan dari saya. Ini bisa mendatangkan fitnah dan perpecahan umat,” ujar Chriswanto Santoso.
Ia juga mengingatkan, para pendiri membentuk LDII bertujuan untuk berkontribusi kepada umat, bangsa, dan negara secara positif.
Sementara itu dalam tausiyah kebangsaan, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, menekankan pentingnya keterhubungan antar manusia,
“Sehingga antarmanusia terhubung rohani, pikiran, amaliyah dan berbagai hal lainnya, ketika semuanya nyambung, keberkahan itu hadir,” ujarnya. Keterhubungan itu, menurutnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Sebagai penyatu perbedaan, Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban,
“Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak.Jadi bila ada yang bertanya pilih Alquran atau Pancasila, itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso,” ujarnya.
Artinya, Pancasila itu terdapat dalam Alquran.
Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat.
“Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan.
Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah,” ujarnya.
Ia menekankan, konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadist) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara, “Aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan,” ujarnya.
Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu, “Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu bayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday,” pungkasnya.
Dan yang ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani, “Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan,” ujarnya.(Abidin)















