SURABAYA (kabarsidoarjo.com) – Pemerintah Provinsi Jawa Timur, segera merealisasikan pendirian Asosiasi Perusahaan Sahabat Anak Indonesia (APSAI), pada Januari 2021.
Hal ini sebagai bentuk komitmen interpersonal collaboration, yang dilakukan oleh Pemprov Jatim dalam hal perlindungan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Pemprov Jatim, Andriyanto, saat berbicara dalam webinar media tentang APSAI dan Peran Penting Kesejahteraan Anak Secara Integrasi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung didukung oleh UNICEF Indonesia mengatakan, semua harus berbicara tentang interpersonal Collaboration karena pemerintah tidak bisa berdiri sendiri.
Sehingga semua stakeholder harus dipadukan menjadi satu kolaborasi besar.
“Ini yang kami inginkan di Jatim, adanya akselerasi atau percepatan. Kami tidak mau lagi hanya sekedar bicara saja, tetapi harus diimplemetasikan. Bangunan gagasan ini sebenarnya sudah lama terbentuk, tinggal bagaimana mengamplikasikannya saja. Sektor swasta harus bisa menjadi mitra strategis pemerintah,” tukas Kepala Dinas P3AK Jawa Timur, Andriyanto, Minggu (20/12/2020).
Andriyanto sangat mengapresiasi keberadaan APSAI, yang dinilainya tetap mampu menjaga sikap independensinya.
Ia meminta kepada APSAI agar segera dibentuk di Jatim, sehingga bisa membentuk APSAI di tingkat kabupaten maupun kota.
“Ini juga menjadi best practice dari LPA Tulungagung untuk bagaimana caranya membentuk APSAI di Jatim. Dengan ini ke depan kami juga ingin bisa memberikan apresiasi ke kabupaten kota berdasarkan indikator atau kluster kabupaten dan kota layak anak,” tukas Andriyanto.
Kepala Dinas P3AK Jawa Timur ini lantas menyebutkan, bahwa sepanjang tahun ini ada sekitar 1.870-an kasus kekerasan anak yang tercatat di Jawa Timur, dimana sekitar 40 persennya ada kaitannya dengan kekerasan seksual.
Ini yang perlu kerjasama semua pihak untuk mengatasinya.
Apa yang diungkapkan Kepala Dinas P3AK Jawa Timur ini mendapat respon positif dari Ketua APSAI Pusat Luhur Budijarso.
Menurutnya, meskipun saat ini APSAI telah memiliki 1.200 an anggota dan tersebar di 40 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, namun ini masih belum cukup menjadi penopang.
“Ini masih langkah kecil, karena ke depan akan masih banyak tantangan. Tantangannya ada empat, yaitu terkait paradigma perusahaan, perluasan isu, lalu keterjangkauan dan yang keempat adalah keterbukaan,” kata Luhur Budijarso.
Meskipun mengaku belum memiliki data berdasarkan survei khusus, namun Luhur memperkirakan jumlah perusahaan di Indonesia yang sadar, menghormati serta memenuhi hak-hak anak dalam rantai kegiatan usahanya, jumlahnya tidak lebih dari 5 persen.
Seperti tantangan Paradigma misalnya, masih banyak perusahaan yang menurut Luhur belum memiliki paradigma, bahwa usaha mereka sebenarnya bisa dikaitkan dengan kepentingan anak.
Lalu tantangan perluasan issue juga demikian. Banya perusahaan yang belum mampu mengimplementasikan apa policy, produk dan program mereka bagi kepentingan anak.
“Saat ini saja ada lebih dari 120 juta tenaga kerja yang semuanya memberi pengasuhan kepada anak-anaknya. Bagaimana isu sederhana ini mampu ditangkap oleh perusahaan, sehingga mereka mengeluarkan kebijakan, produk hingga program yang pro anak dan memberi pengaruh positif kepada lini usahanya,” jelas Luhur.
Sementara itu Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mengapresiaai rencana pemerintah Jawa Timur ini.
Ia menyebutnya sebagai sesuatu yang patut disambut baik.
“Sinergi antara pengusaha dan pekerja ini sangat strategis. Ini yang harus dikomunikasikan. Sehingga keberadaan APSAI memang harus terus digaungkan dan dikenalkan. KADIN Jawa Timur siap untuk bergandengan tangan dengan APSAI dalam rangka mengenalkan dan mengimplementasikan hak-hak anak di setiap perusahaan,” kata Adik Dwi Putranto.
Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Fithriyah mengungkapkan, bahwa ketenangan batin pekerja itu merupakan faktor pendukung tertinggi untuk meningkatkan produktivitas sebuah perusahaan.
Alasannya, pekerja tidak akan lagi feeling guilty meninggalkan anak-anak di rumah ketika bekerja.
“Jika sebuah perusahaan itu memproduksi produk ramah anak, maka akan sangat mungkin itu sebagai market driven yang cukup tinggi, sehingga justru menguntungkan perusahaan, karena kondisi anak-anak saat ini sangat berbeda dengan anak-anak di masa sebelumnya,” kata Fithriyah.(Abidin)














