Oleh: Adinda Nur Masrucha.
Saat ini media sosial mengalami peningkatan yang sangat drastis. Media social tersebut meliputi Instagram, tiktok, youtube, dsb. Sebagian masyarakat memanfaatkan media social sebagai untuk media hiburan.
Selain itu, media social berpeluang untuk mendapatkan uang. Salah satunya dengan menjadi content creator media social baik itu, Instagram, tiktok, youtube, dan berbagai media social lainnya.
Menjadi seorang content creator berpeluang untuk mendapatkan tawaran atau sponsor dari kegiatan promosi berupa produk, jasa, brand dan lain sebagainya yang ditujukan kepada pengikut (followers) dari akun yang dimiliki. Seorang content creator tersebut dapat dikategorikan sebagai selebgram/influencer. Sedangkan, kegiatan promosi tersebut merupakan kegiatan endorsement.
Endorsement sendiri merupakan suatu langkah dalam memasarkan bisnis melalui media sosial. Dengan melakukan endorsement, selebgram/influencer dapat menerima penghasilan dan memanfaatkan kepopuleran mereka dalam melakukan promosi. Dari uang penghasilan tersebut dapat disimpulkan bahwa endorsement masuk dalam sebuah lingkup pekerjaan karena terdapat penghasilan.
Pekerjaan yang menghasilkan uang diwajibkan membayar pajak untuk negara beberapa persentase dari penghasilan. (BerdasarkanPasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang HPP, disebutkan: “penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau didapat oleh Wajib Pajak dari Indonesia maupun luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dapat digunakan untukkonsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.”) Mengapa? Karena kegiatan tersebut merupakan pekerjaan rutinan, apalagi saat ini banyak influencer ternama yang menjadi pusat endorsement dari tawaran sponsor baik dari segi local maupun interlokal.
Selain itu,penghasilan dari endorsement dapat menambah kekayaan bagi selebgram/influencer. Penghasilan yang didapatkan oleh selebgram/influencer dari hasil endorsement termasuk dalam Objek Pajak.
Direktur P2 Humas, DJP, Neilmaldrin Noor mengatakan, “secara teknis, mekanisme pembayaran pajak atas penghasilan yang diterima influencer sudah diatur dalam UU Pajak Penghasilan dan aturan pelaksanaannya.”
UU terkait Objek Pajak penghasilan dimuat pada Pasal 23 atauPasal 21 sesuai ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013, tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce, endorsement termasuk dalam model bisnis classified ads yang merupakan kegiatan berupa menyediakan waktu dan tempat untuk memasarkan konten berupa teks, video, grafik, informasi dan lain-lain dalam bentuk barang atau jasa yang di iklankan dan ditujukan kepada pengikut dari selebgram/influencer melalui situs yang telah disediakan.
Perhitungan pajak dalam kegiatan endorsement memiliki beberapa skema. Pertama, endorsement dapat dikenakan PPh 21 apabila selebgram/influencer tidak berada di bawah naungan badan atau agensi. Besaran tariff PPh yang berlaku berdasarkan UU Harmonisasi PPh adalah Penghasilan dari Rp 0 – Rp 60 juta di kenakan tariff sebesar 5%, Penghasilan dari Rp 60 juta – Rp 250 juta dikenakan tariff sebesar15%, Penghasilan dari Rp 250 juta – Rp 500 juta dikenakan tariff sebesar25%, Penghasilan dari Rp 500 juta – Rp 5 miliar dikenakan tariff sebesar 30% dan penghasilan lebih dari Rp 5 miliar dikenakan tariff sebesar35%.
Namun, apabila pengguna jasa endorsement tidak memotong PPh Pasal 21 maka selebgram/influencer sebagai pelaku endorsement akan melakukan pembayaran PPh sendiri melalui Surat PemberitahuanTahunan (SPT) pada akhir tahun dan tariff pajak yang dikenakan sesuai Undang-Undang yang diatur pada Pasal 17 terkait Pajak Penghasilan yang berlaku secara progresif.
Kedua, apabila selebgram/influencer berada di bawah naungan badan atau agensi (transaksi perusahaan dengan perusahaan) maka endorsement dikenakan PPh 23 dan pemotongan pajak dilakukan kemudian dikelola oleh perusahaan dan diteruskan keselebgram/influencer terkait.
Besaran tariff PPh 23 dibagi menjadi dua, yaitu 15% dan 2% tergantung objek pajaknya. Meskipun telah diberlakukan aturan pajak dalam endorsement, tidak sedikit selebgram/influencer yang patuh pada aturan yang berlaku.
Masih banyak para pelaku endorsement yang memiliki pemahaman mengenai perpajakan yang dinilai masih rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan masih ditemukannya beberapa selebgram/influencer yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan kata lain, perbuatan tersebut melanggaraturan yang berlaku.
Oleh karena itu, perlunya upaya dalam sosialisasi mengenai pajak sangat dibutuhkan. Direktoran Jenderal (Ditjen) Pajak mendukung aksi tersebut terutama di media sosial yang diharapkan memberikan masyarakat, termasuk selebgram/influencer terkait pemahaman yang tepat dan dapat mematuhi kewajiban pajak.
Pemerintah terus melakukan berbagai usaha agar perilaku taat pajak dapat menjadi budaya yang menancap pada diri individu. Sementara itu, pemerintah juga membentuk tim khusus untuk mengoreksi penuh terkait potensi pajak dari sector bisnis digital melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan.
Tim khusus tersebut dinamai Gugus Tugas Penanganan Pelaku Ekonomi Digital yang akan mengemban dua tugas utama, salah satunya pemantauan kegiatan selebgram/influencer.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan bahwa pentingnya pajak bagi masyarakat, karena menurutnya hak yang diterima wajib pajak dapat dinikmati secara tidak langsung. Oleh karena itu, penting pula untuktetap membayar pajak demi kestabilan negara.
Sebagai selebgram/influencer yang telah memiliki tawaran promosi dari berbagai produk atau jasa yang menghasilkan uang, perlunya kesadaran dari dalam diri bahwa setiap penghasilan yang kita dapatkan merupakan termasuk dalam lingkup pekerjaan. Dan dari pekerjaan tersebut tentunya kita tau bahwa setiap penghasilan tetap yang kita dapatkan wajib dikenakan pajak.
Tidak lupa, apabila seseorang memiliki pekerjaan diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk menjaga ketertiban dan ketaatan pembayaran pajak serta pengawasan administrasi perpajakan Wajib Pajak. (*)
*Mahasiswi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo