SIDOARJO (kabarsidoarjo.com)- Semakin tumbuhnya pemahaman radikal yang ujungnya membentuk pemahaman salah memaknai arti jihad, menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi anggota DPRD Sidoarjo.
Karenanya, perlu adanya pemahaman yang benar mengenai jihad, melalui pendidikan formal yang sudah ada saat ini.
Ketua komisi D DPRD Sidoarjo H.Usman menyatakan, untuk menangkis pemahaman yang salah soal Islam terlebih soal makna jihad, Siswa harus diberi pemahaman yang benar melalui pelajar formal.

“Sehingga anak-anak didik akan faham makna jihad yang benar, tidak harus dengan berperang, namun jihad dengan kebaikan,” ujar Usman.
Untuk mendukung pemahaman Islam secara benar pada pendidikan ini, Usman menyebutkan pada Perda pendidikan sudah disepakati tentang masuknya Baca Tulis Qur’an (BTQ) pada muatan lokal.
“yang sedang kita bahas ini, Baca Tulis Qur’an harus masuk dalam muatan lokal, meskipun konswekensi harus mengakomodir guru BTQ,” jelas Usman.
Muatan lokal sendiri, memang dapat dikembangkan dari hasil “analisis situasi dan kebutuhan” dan ”penentuan aspek khusus” dalam tahapan penyusunan KTSP.
Hasil telaah tentang keadaan daerah, segala sesuatu yang terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya, yang menjadi kebutuhan daerah.
Selain dari sisi pemahaman keagamaan yang benar, penguatan pendidikan kewarganegaan juga harus harus terus ditekankan.
Karena menurut Usman, saat ini pengetahuan PPKN sudah begitu menurun.
“Karenanya perlu pemahaman yang benar benar dan maksimal dari guru tentang kecintaan kepada NKRI,” terang Usman.

Sementara itu menurut dr Wijono anggota komisi D dari fraksi PDIP, pendidikan cinta tanah air dan pluralisme, sangat dibutuhkan anak didik untuk mencegah faham radikalisme.
Pasalnya, jika tidak ada antisipasi sejak dini untuk anak didik soal faham radikal, maka sangat mudah mereka menerima faham yang salah.
“Pendidikan ini sangat penting untuk membentengi anak-anak kita. Jangan sampai anak-anak menerima faham radikalisme dengan gampang tanpa filter pendidikan kewarganegaraan,” ulas Wijono. (Adv/Abidin)